RESENSI CERPEN “PENGANTAR TIDUR PANJANG”
Identitas Cerpen :
1.
Judul cerpen : Pengantar Tidur Panjang
2.
Karya : Eka Kurniawan
Sinopsis :
Aku
muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga
muncul. Ia membuka pintu sambil menangis,” Bapak sudah meninggal?” kataku
“belum”. Namun dokter menyatakan Bapak sudah meninggal.
Dari
ungkapan di atas akan muncul sebuah pertanyaan, apakah Bapak sudah meninggal
ataukah belum? Kenapa dokter mengatakan sudah, sementara “aku” menyatakan
tidak? Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa
bergerak, tangisnya reda.
Akhirnya
Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah.
Bapak
dan Republik Indonesia memiliki shio yang sama. Ayam dengan unsur Kayu. Nasib
mereka tak akan jauh berbeda.
Misalnya,
pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretilin
memerdekakan Timor Timur dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua
(Bapak dan Republik Indonesia) sama-sama memiliki anggota keluarga baru. Sejak
itu usaha Bapak (bermacam-macam) menuai keberhasilan. Di tengah puncak
kemakmuran, Bapak bangkrut di tahun 1998. Ha, bukankah begitu juga Republik
Indonesia? Bapak memperoleh serangan stroke dan sejak itu kesehatannya tak
pernah sebaik sebelumnya. Tahun 1999 ia mulai membekali dirinya dengan tongkat.
(Ya, tahun itu Indonesia dipimpin Gus Dur, Presiden yang juga berjalan dengan
tongkat).
Dengan
kematian Bapak apakah Republik Indonesia juga akan tamat? Sungguh aku
mengkhawatirkannya.
Empat
hari kemudian, aku kembali ke Jakarta dengan bus malam. Tujuh jam perjalanan
dan aku akan tiba di Kampung Rambutan. Aku duduk, suara AC berdengung di
atasku. Kurebahkan sandaran kursi. Selama lebih dari satu jam, aku hanya
melamun.
Lalu
kondektur datang mendekat. Aku merogoh dompet di saku celanaku. Si kondektur
berhenti di sampingku, memandang ke arahku. Aku mendongak ke arahnya. Ia
sedikit terkejut dan setelah beberapa saat, menyapa, ”Apa kabar?”
Sungguh,
aku tak merasa mengenalnya.
Sebelum
aku sempat membuka mulut, ia sudah berkata lagi, ”Ikut berduka atas kepergian
Bapak.”
Aku
mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku hendak mengeluarkan uang dari
dompet, tapi ia segera menghalanginya. Tidak usah, katanya. Lalu ia bercerita,
beberapa tahun lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak
berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seseorang
menyarankannya menemui seorang kiai. Ia pergi menemui kiai tersebut. Sang kiai
memberinya minum. Air putih biasa dari dapur. Sakitnya mendadak hilang dan
dokter kemudian mencabut giginya.
”Kiai
itu bapakmu,” kata kondektur.
Sejujurnya,
aku belum pernah mendengar cerita ini.
Kondektur
pergi setelah menepuk bahuku, menghampiri penumpang lain. Aku hanya menoleh,
memerhatikan punggungnya. Apa boleh buat, kumasukkan kembali dompet ke saku
celana.
Bahkan,
pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos bus. Aku tersenyum
sambil kembali bersandar. Kukeluarkan iPod dan kupilih lagu: ”Seasons in the Sun”
dari Terry Jacks. Kupasang earphone dan kupejamkan mata.
”Goodbye,
Papa, it’s hard to die …”
Dan
segera aku terlelap.
Kelebhan:
Cipta
sastra selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang
mampu menyajikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang
berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan
masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang
berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini
Kekurangan:
Terkadang ada bahasa atau kata yang sulit dimengerti.
Kesimpulan:
Cipta
sastra selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang
mampu menyajikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang
berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan
masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang
berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
0 komentar:
Posting Komentar